Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Saat ini, kami akan tunjukkan berbagai dalil yang menyatakan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya sebagai sanggahan untuk abusalafy yang masih meragukan keyakinan semacam ini. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai Rabbku, tolonglah aku untuk menggapai ridho-Mu).
Ulama Besar Syafi’iyah Menyatakan Ada 1000 Dalil
Mengapa banyak yang mengaku sebagai Syafi’iyah malah jauh dari aqidah yang dipegang oleh ulama Syafi’iyah. Coba perhatikan nukilan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berikut.
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[1]
Banyak yang mengaku Syafi’iyah namun menolak jika Allah dinyatakan berada di atas, padahal keyakinan ini 1000 dalil. Sungguh aneh!
Bukti Terkuat dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi
Selanjutnya kita akan melihat dalil-dalil yang kami olah dari penjelasan Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah.[2] Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”.[3] Ini baru macam dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, belum lagi jika tiap macam dalil tersebut kita jabarkan satu per satu. Jika macam dalil tersebut diperinci, boleh jadi mencapai 1000 dalil sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi’iyah di atas. Selanjutnya kami akan menyebutkan macam-macam dalil yang dimaksudkan Ibnu Abil Izz dan kami tambahkan dengan contoh dalil yang ada. Semoga hal ini semakin membuka hati blogger abusalafy yang masih meragukan hal ini.
Pertama: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah,
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50)
Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala,
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
“Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al An’am : 18, 61)
Ketiga: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4)
Keempat: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata sho’ada– yash’adu). Ini pasti menunjukkan bahwa Allah di atas sana dan tidak mungkin Dia berada di bawah sebagaimana makhluk-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir: 10)
Terdapat pula contoh dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِتَّقُوْا دَعْوَةَ المَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تَصْعُدُ إِلَى اللهِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ
“Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik (dihadapkan) pada Allah bagaikan percikan api.”[4] Yang dimaksud dengan ‘bagaikan percikan api’ adalah cepat sampainya (cepat terkabul) karena do’a ini adalah do’a orang yang dalam keadaan mendesak.[5]
Kelima: Dalil tegas yang menyatakan sebagian makhluk diangkat kepada-Nya (dengan menggunakan kata rofa’a). Sesuatu yang diangkat kepada Allah pasti menunjukkan bahwa Allah berada di atas sana.
Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya ..” (QS. An Nisa’ : 158)
Juga firman Allah Ta’ala,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imron: 55)
Keenam: Dalil tegas yang menyatakan ‘uluw (ketinggian) Allah secara mutlak. ‘Uluw (ketinggian) Allah ini mencakup ketinggian secara dzat (artinya Dzat Allah berada di atas), qodr (artinya Allah Maha Tinggi dalam Kehendak-Nya) , dan syarf (artinya Allah Maha Tinggi dalam sifat-sifat-Nya). Seperti firman Allah Ta’ala (pada ayat kursi),
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah : 255)
Begitu pula dalam ayat,
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Saba’ : 23)
إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy Syura: 51)
Juga kita sering mengucapkan dzikir berikut ketika sujud,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi.”[6]
Dalil-dalil yang menyatakan Allah ‘Maha Tinggi’ di sini sudah termasuk menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi secara Dzat-Nya yaitu Allah berada di atas.
Ketujuh: Dalil yang menyatakan Al Kitab (Al Qur’an) diturunkan dari sisi-Nya. Sesuatu yang diturunkan pasti dari atas ke bawah. Firman Allah Ta’ala yang menjelaskan hal ini,
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
“Kitab (Al Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ghafir: 2)
تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 2)
تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS. An Nahl: 102)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan : 3)
Kedelapan: Dalil tegas yang mengkhususkan sebagian makhluk dikatakan berada di sisi Allah dan dalil yang menunjukkan sebagian makhluk lebih dekat dari yang lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu.” (QS. Al A’rof: 206)
Begitu pula contohnya dalam firman Allah Ta’ala,
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya” (QS. Al Anbiya’: 19). Lihatlah dalam ayat ini Allah membedakan kalimat “man lahu …” yang menunjukkan kepemilikan Allah secara umum dan kalimat “man ‘indahu …” yang menunjukkan malaikat dan hamba-Nya yang berada khusus di sisi-Nya.
Contoh lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِى كِتَابِهِ ، فَهْوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِى غَلَبَتْ غَضَبِى
“Ketika Allah menetapkan ketentuan bagi makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya: Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku. Kitab tersebut berada di sisi-Nya yang berada di atas ‘Arsy.”[7]
Kesembilan: Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:
- Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit.
- Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.
Dua makna di atas tidaklah bertentangan. Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa’ (di langit)” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang. Makna “fis samaa’ ” adalah sebagaimana yang ditunjukkan di atas.
Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16)
Juga terdapat dalam hadits,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi, niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.”[8]
Kesepuluh: Dalil tegas yang menyatakan abhwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi. Contoh ayat tersebut adalah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5)
Kesebelas: Dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Rabb kalian –Tabaroka wa Ta’ala- Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu pada hamba-Nya, jika hamba tersebut mengangkat tangannya kepada-Nya, lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan hampa.”[9]
Keduabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam. Semua orang sudah mengetahui bahwa turun adalah dari atas ke bawah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kami –Tabaroka wa Ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia. Hingga ketika tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa saja yang meminta pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa saja yang memohon ampunan pada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya’.”[10]
Ketigabelas: Isyarat dengan menunjuk ke langit yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dalam hadits yang cukup panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika manusia berkumpul dengan jumlah yang amat banyak, di hari yang mulia dan di tempat yang mulia.
قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Mereka yang hadir berkata, “Kami benar-benar bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasehat.” Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau berkata pada manusia, “Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).”[11]
Keempatbelas: Dalil yang menanyakan ‘aynallah’ (di mana Allah?).
Contohnya dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,
“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,
أَيْنَ اللَّهُ
“Di mana Allah?”
Dia menjawab,
فِى السَّمَاءِ
“Di atas langit.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.”[12]
Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]
Kelimabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan orang yang menyatakan bahwa Rabbnya di atas langit dan beliau menyatakan orang tersebut beriman. Contohnya adalah sebagaimana hadits Jariyah yang disebutkan pada point keempatbelas.
Keenambelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
“Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [14]
Ketujuhbelas: Berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa beliau bolak-balik menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan Allah ketika peristiwa Isro’ Mi’roj. Ketika itu beliau meminta agar shalat menjadi diperingan. Beliau pun naik menghadap Allah dan balik kembali kepada Musa berulang kali.[15]
Peristiwa Isro’ Mi’roj ini secara jelas menunjukkan Allah itu di atas.
Kedelapanbelas: Berbagai macam dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa penduduk surga melihat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk surga tersebut melihat Allah sebagaimana mereka melihat rembulan di malam purnama tanpa dihalangi oleh awan. Penduduk surga tersebut melihat Allah dan Allah berada di atas mereka.
Demikian pemaparan mengenai macam-macam dalil yang mendukung Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya dan bukan di mana-mana sebagaimana klaim sebagian orang yang keliru dan salah paham.
Mengkritisi Lagi AbuSalafy
Setelah pemaparan berbagai dalil yang begitu banyak yang membuktikan bahwa Allah itu berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka kami akan mengajukan beberapa kritikan lagi kepada abusalafy dalam tulisannya “Kritik Atas Akidah Ketuhanan ala Wahabi Salafy “. Intinya kesimpulan beliau adalah Allah ada tanpa tempat. Jadi, beliau menolak menyatakan Allah berada di atas langit dengan berbagai argumen yang ia kemukakan.
Kritik pertama:
Di antara argumen abusalafy, beliau menolak shahihnya hadits Jariyah yaitu hadits dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budaknya di manakah Allah, dengan alasan hadits tersebut mudhthorib, sehingga beliau katakan bahwa redaksi pertanyaan di manakah Allah bukan redaksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ada tambahan dari perowi.
Sebagai jawaban, walaupun kami memang perlu membahas tentang mudhthorib yang beliau tuduhkan, ringkasnya kami sanggah: Taruhlah jika hadits jariyah yang ditanya di manakah Allah itu lemah (dhoif), lantas bagaimana dengan dalil Al Qur’an dan Hadits Nabawi lainnya yang menyatakan secara tegas Allah di atas seluruh makhluk-Nya? Dalil-dalil ini mau diletakkan di mana? Ataukah mau ditakwil (diselewengkan maknanya) lagi? Jika ingin menyelewengkan makna dari berbagai dalil yang menyatakan Allah di atas, maka sudah cukup sanggahan kami dalam tulisan pertama sebagai sanggahan telak baginya. Silakan rujuk kembali dalam tulisan tersebut.
Kritik kedua:
Beliau –abusalafy- menyatakan sendiri, “Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman,
.وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .
“Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.Ghafir/Al Mu’min: 36-37)”
Ini tafsiran dari mana? Bukankah Fir’aun sendiri yang mengingkari keyakinan Nabi Musa yang menyatakan Allah berada di atas langit? Jadi Fir’aun yang sebenarnya mengingkari Allah di atas langit. Lantas dari mana dikatakan bahwa itu keyakinan Fir’aun? Sungguh ini tuduhan tanpa bukti. Beliau belum menunjukkan bukti sama sekali tentang tuduhannya tersebut. Beliau mungkin saja yang salah paham sehingga pemahamannya pun jauh dengan yang dipahami ulama besar semacam Ibnu Abil Izz Al Hanafi. Lihat sekali lagi perkataann Ibnu Abil Izz tentang ayat tersebut. Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” Dan Ibnu Abil Izz sebelumnya mengatakan, “Fir’aun itu mengingkari Musa yang mengabarkan bahwa Rabbnya berada di atas langit.”[16] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni juga mengatakan,
كَذَّبَ مُوسَى فِي قَوْلِهِ إنَّ اللَّهَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ
“Fir’aun mengingkari Musa, di mana Musa mengatakan bahwa Allah berada di atas langit.”[17]
Dari sini silakan pembaca menilai siapakah sebenarnya yang jadi pengikut Fir’aun.
Agar tidak terlalu panjang lebar dalam tulisan kedua ini, kami akan melanjutkannya dalam tulisan serial ketiga. Masih banyak syubhat-syubhat yang mesti disanggah yang nanti kami akan kupas dalam tulisan selanjutnya. Dalam serial ketiga, insya Allah kami akan membahas keyakinan para sahabat, ulama madzhab serta ulama besar lainnya yang semuanya mendukung bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Diselesaikan di tengah malam, di Panggang-Gunung Kidul, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)
Artikel https://rumaysho.com
[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H.
[2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafi, Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/437-442, Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1421 H.
[3] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437.
[4] HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Silsilah Ash Shohihah no. 871.
[5] Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/184, Mawqi’ Ya’sub.
[6] HR. Muslim no. 772.
[7] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751.
[8] HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih
[9] HR. Abu Daud no. 1488. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih
[10] HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758
[11] HR. Muslim no.1218.
[12] HR. Ahmad [5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282], An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al ‘Uluw [81]
[13] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H
[14] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[15] Hadits Muttafaqun ‘alaih, riwayat Bukhari Muslim.
[16] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 3/225.